Follow Us @soratemplates

Jumat, 06 September 2019

Another Part I




Tittle    : Another 
Cast     : Jeon Jungkook BTS
              Shin Nara 
              Kim Taehyung BTS
              BTS 
Genre  : Psikologi, Fanfiction, Alterego 
Rate     : NC 

"Shin Nara tak menyangka hidupnya akan bertambah rumit setelah terlibat dengan seorang ahjussi tampan yang hampir gila, yang selalu menggangap dirinya adalah Shin Nara dari masa lalunya." 

          Semua kisah membutuhkan akhir. Tak peduli bagaimana wujudnya, tak peduli kapan datangnya. Akhir akan melengkapi kisah itu. Menjadi sebuah penutup bagaimana kisah itu ternamai, kisah bahagia ataupun kisah sedih.

            “Aku tidak akan pulang.” Seorang pria bermonolog memandang seorang siswi SMA yang sesekali mengusap matanya diseberang jalan. “Biar saja ayah hidup dengan jalang itu!.” Lanjutnya.

            “Berhenti melakukan itu!.” Pria yang lain jengah melihat sepupunya selalu melakukan hal bodoh setiap melihat orang-orang dengan tingkah aneh. “Jangan katakan kau melakukannya lagi di kencan butamu!.” Selidik Pria muda dengan setelan jas biru laut. Yang diajak bicara mengalihkan pandang.

            “Ah. Berhubung kau membicarakan kencan buta, aku jadi ingat.”

            Pria berjas biru menaruh perhatian lebih mendalam, berharap pria berpenampilan seperti gelandangan tampan itu menyinggung tentang gadis yang dia kenalkan beberapa minggu lalu. Setidaknya memintanya untuk kembali mempertemukan mereka.

            “Aku lupa mengatakan padamu kalau aku ingin lebih fokus pada pekerjaanku. Aku tak berencana menikah, aku akan menikahi pekerjaanku. Jadi berhenti mengatur perjodohan untukku. Kau bahkan bukan ayahku.” Hampir saja melongo mendapati seorang hampir gila mengatakan tentang pekerjaan. Hal yang dilakukannya setiap saat hanya mengamati orang dan mencoret-coret bukunya.

            Belum lagi sifat pemilihnya, Gadis itu tak menarik, kurang cantik, aku tak suka gadis kaya raya. Mungkin saja setelah ini dia juga akan mengatakan aku tidak menyukai gadis, lebih baik hyung saja yang menikah denganku. Bukan berarti dia tak pantas memilih. Percayalah jika kau tilik lebih dekat lagi pria seperti gelandangan ini lebih pantas menjadi model di layar televisi atau paling tidak majalah lokalpun tak akan menolak memasang potretnya sebagai sampul.

            “Jeon.” Nadanya melemah. Ini adalah permintaan nenek mereka sebelum meninggal. Membuat Jeon Jungkook kembali normal. Bukan berarti pria dengan rambut sedikit panjang beratakan itu gila. Hanya saja nyaris gila, diambang batasnya. “Ayahmu saja menyerah mengurusimu, harusnya kau lebih mendengarkanku. Karena jika kau melakukan hal bodoh lagi, aku juga akan meninggalkanmu.” Sudah hilang kesabarannya. Tak peduli banyak mata memandang mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

             “Seokjin Hyung.”

            “Apa kau nyaman hidup seperti orang gila?. Hanya karena seorang gadis kau membuang hidupmu dengan sia-sia. Aku tahu sejak awal Nara akan memberi pengaruh buruk untukmu.”

            Nafasnya naik turun, meluapkan keresahannya membuat energinya terkuras. Hingga dia sadar bahwa ada sebuah nama yang harusnya tidak dia katakan. Tapi semuanya sudah terjadi. Sekarang dia akan memerlukan banyak waktu untuk selalu mengawasi sepupu hampir gilanya.

            Yang dilakukan Jeon Jungkook hanya, berpikir. Barangkali dikepalanya kini kepingan kenangan bersama Nara kembali terangkai meski samar. Hingga pria muda itu menunduk dalam lantas menarik surai hitam legamnya.

            “Jeon!. Tidak lagi.” Seokjin menarik tangan Jungkook, menahannya agar tidak lagi meyakitki diri. Seluruh pengunjung cafe terlihat histeris. Beberapa menjauh dari kedua pria itu. “Kumohon. Jeon!.” Teriak Seokjin.

            Pria berjas biru itu mengambil ponselnya, menghubungi sekretarisnya untuk segera datang. Dan Jeon Jungkook benar-benar memanfaatkan waktu selagi sepupunya lengah. Dengan sekuat tenaga pria tinggi itu membalik meja dihadapannya hingga terjungkal. Membuat cafe itu berkali lipat lebih mencekam.

            Para pengunjung bermunduran, tidak mau mendekat juga tidak mau pergi. Beberapa staf berusaha mendekat, meski ketakutan. Hingga Seokjin mengangkat tangan mengisyaratkan tidak boleh ada yang mendekat. “Jeon. Ayo pulang, kau pasti kelelahan!.”

            Namun seolah ada penghalang diseluruh indera Jungkook, pria yang hampir gila itu melangkah dengan berat. Matanya memerah, bibirnya bergetar. Kepalanya masih saja berdenyut kurang ajar. Kepala pria itu memutar, raut ketakutan orang-orang. Meja terbalik, pecahan vas dan mug. Bunga imitasi tergeletak dilantai, bahkan bekas kopi yang berceceran.

            Seokjin melihat langkah rapuh Jungkook. “Sial!.” Umpatnya, tatkala si pria hampir gila itu hendak  memungut pecahan mug dilantai. Dengan gerakan cepat Seokjin menarik tubuh lemah Jungkook. Memeluknya kuat hingga pria muda itu kehabisan tenaga untuk sekedar memberontak. “Kumohon sadarlah!. Kembalilah!.” Seokjin selalu merasa hatinya tergores setiap kali melihat Jungkook seperti ini.

            “Presedir.” Dua orang datang, salah satunya mengangguk memberikan isyarat. Mendekat perlahan, dengan cepat menempelkan kain dengan obat bius di hidung Jungkook. Hingga sebuah pemberontakan kecil tercipta dari tubuh yang sudah lemah itu.

            Seokjin merasakan tubuh Jungkook semakin berat dalam pelukannya. Dengan bantuan sekretaris dan dokter pribadi, Jungkook dibopong masuk kedalam mobilnya. “Ah.” Hampir lupa, pria bermarga Kim itu berputar arah. Mendekat pada salah satu pelayan cafe. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada pemilik cafe ini. Besok sekretarisku akan kembali lagi kesini untuk mengurus semuanya.”

***

            “Jeon Jungkook sialan!. Kenapa kau mengikutiku!.”

            “Memangnya hanya kau saja yang bisa membolos!.”

            “Berhenti membuat hidupku lebih berantakan!. Kau yang bolos dan aku yang akan kena marah Kim Seokjin sialan!.”

            Jungkook merasakan nyeri dikepalanya luar biasa. Membuat matanya dengan perlahan terbuka, terlalu menyakitkan hanya sekedar melihat cahaya.

            “Sial!.” Umpatnya dengan suara serak. Tangannya terangkat memegangi kepala, hingga dirasakannya nyeri dan dia tahu selang infus menempel disana. Bahkan bau obat menguar dimana-mana.

            Diruangan berbeda, Seokjin melihat dari sebuah layar. Semuanya terasa percuma kini. Seluruh waktu yang dia habiskan untuk membuat Jungkook sembuh hilang begitu saja hanya dengan sebuah nama. Pria berambut coklat itu menarik nafas panjang, memijit keningnya. “Sekretaris Jang.”

            “Ya presedir.” Pria yang selalu berpakaian formal itu mendekat.

            “Hubungi Kim Namjoon. Katakan padanya aku minta bantuan. Atur pertemuan kami.”

            Sang sekretaris menunduk sebelum akhirnya meninggalkan Kim Seokjin yang masih melihat sepupunya berbaring dikamar terkunci itu. Butuh waktu dua hari menenangkan nyonya Jeon, mengatakan bahwa Jeon Jungkook akan baik-baik saja. Dan mungkin butuh waktu lebih lama untuk kembali mendapatkan kepercayaan ibu Jeon Jungkook itu.

            Kim Seokjin melihat tingkah Jungkook yang selalu sama, pria muda itu dengan cekatan melepas selang infusnya. Lantas menunjukkan jari tengah tepat dikamera.

            Seokjin memutar tubuhnya keluar dari ruangan sempit itu. Melewati lorong panjang dengan banyak pintu berventilasi kecil. Hingga sampai di ruangan 404. Berdiri dengan tubuh tegak. Pria itu membuka ventilasi kecil itu. Melihat Jeon Jungkook yang sudah turun dari ranjangnya.

            “Hyung. Aku lapar.” Rengek Jungkook. Pria itu berjalan tertatih hingga sampai dipintu dimana sepupunya berdiri diluar. “Berapa hari aku tidur?.”

            “Hampir seminggu. Tunggu sebentar lagi perawat akan membawakan makanan untukmu.”

            “Hyung.” Kembali merengek. Bagaimana bisa dia makan ditempat seperti ini. “Aku ingin makan diluar.”

          “Jangan berulah Jeon!. Butuh waktu beberapa hari agar kau bisa keluar dari sini. Aku akan sering berkunjung.” Seokjin menutup tutup ventilasi itu.

            Jungkook mengumpat berkali-kali, bahkan menendang pintu besi sampai akhirnya sia-sia saja. Tubuhnya masih lemah, kepalanya juga masih berkedut. Tak beberapa lama seseorang membuka pintu besi itu.

            “Tuan Kim Seokjin menunggu anda dimobilnya.” Ucap perawat yang hanya berdiri diambang pintu.

            Jeon Jungkook menarik senyumnya lebar. Sepupu presedirnya tak akan tega meninggalkannya kelaparan. Dengan langkah yang lemah, pria yang masih mengenakan baju pasien itu berjalan. Menyusuri lorong yang tak lagi asing untuknya. Ini bukan kali pertamanya ditempat ini. Mungkin empat atau lima kali dia selalu bangun ditempat yang sama.

            Didalam mobil, Seokjin melihat Jungkook keluar dari gedung rumah sakit. Tubuhnya lebih kurus, kulitnya putih pucat, rambutnya bahkan hampir sebahu. Masih jelas teringat bagaimana menawannya seorang Jungkook waktu itu. Bahkan banyak teman kuliahnya ingin sekali berkenalan dengan anak itu.

            “Hyung aku mau makan ramen.” Ucap Jungkook setelah membuka pintu mobil. “Ramen yang ada didepan sekolahku.”

            Sekali lagi Seokjin menghela nafas panjang. Harus berapa kali semuanya terulang. Jungkook hanya akan mengenang bagaimana rupa Nara dalam ingatannya.

            “Kita pulang dulu, aku tak mau semua orang berpikir kalau aku membawa kabur pasien rumah sakit untuk makan ramen.”

            Jungkook bersandar lemah pada jok mobil. Menghela nafas berat. “Baiklah, mungkin belum sampai rumah aku sudah akan masuk rumah sakit lagi karena pingsa. Kau belum pernah merasakan tidak makan selama seminggu.”

            Sabar Kim Seokjin, sejak kapan Jungkook mau menuruti perkataanmu. Bahkan saat pria muda itu masih waras dia tidak pernah memperdulikan ucapanmu. “Ambil jaket dibagasi!.” Perintah Seokjin akhirnya. Menekan tombol bagasi dan melihat Jungkook turun dari mobil.

            Seokjin mengalihkan pandangannya dari Jungkook kala ponselnya berbunyi. Panggilan dari Kim Namjoon. Mengangkat panggilan itu, Seojin kembali melihat jendela belakangnya. Jungkook masih disana.

            “Oh Namjoon.”

            “Lama tak bertemu Jin. Sekretarismu bilang kau memerlukan bantuanku?. Apakah mengenai Jungkook?.”

            “O. Sesuatu terjadi. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Jadi kapan kita bisa bertemu?.” Suara debum bagasi tertutup terdengar. Jungkook berjalan pelan dengan membawa buku sketsanya yang hampir saja dibuang Soekjin.

            “Mungkin empat atau lima hari. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku disini.”

            “O. Baiklah.” Seokjin menutup panggilannya saat Jungkook kembali masuk dengan mengenakan jaket tebal abu-abunya. “Sepertinya kau menemukannya.” Seokjin melihat buku yang tidak lagi putih ditangan Jungkook.

            Pria muda berambut sedikit panjang itu menarik garis bibirnya. Melihat salah satu buku tua yang pernah menemani harinya.

            Seokjin mulai menyalakan mobilnya, menembus kota Seoul yang tak pernah sepi. Sesekali melirik Jungkook yang mulai membuka sketsa gambarannya. Untung saja Seokjin sempat merobek sketsa wajah Nara disana.

            Tanpa satupun kata keluar dari mulutnya, Jungkook terus membalik satu persatu lembar. Matanya menemukan sketsa lawas dengan goresan pensil. Daun kering yang jatuh karena angin, canola kering terselip dalam buku, dan masih banyak lagi gambar yang menghantarkan kenangan padanya.

            Tangan Jungkook berhenti membalik, kala dia menyadari satu lembar lepas dari sana. Tak memerlukan waktu lama mengingat gambar apa yang hilang. Masih sangat lekat dimemorinya sepasang mata hitam dengan bulu mata yang lentik, sebuah lengkung senyuman yang jarang terlihat, rambut hitam panjang bergelombang yang menari bersama angin.

            “Ayo ke restoran jepang dekat sini, aku pernah kesana dan sushinya lumayan enak.”

            “Kau idiot!” Gadis itu tetap berjalan tanpa menengok kemanapun, langkahnya sedikit memburu dengan kaki kecilnya. “Mana ada membolos pergi ke restoran?.”

            “Lalu kau mau kemana?. Cafe comik?. Tempat main game?.” Sang pria muda masih betah mengekor dibelakangnya. Tak ada lagi jawaban, hanya derap langkah yang semakin cepat hingga berubah menjadi langkah yang berlari. “Nara! Sebenarnya kau mau kemana?.”

Sesekali gadis itu mengumpat saat dilihatnya layar ponselnya. Menepi dipinggir jalan ketika sebuah taxi hampir saja melewati mereka. “Tolong antarkan ke bandara.”

Gadis mungil itu begitu saja masuk kedalam taxi diikuti Jungkook yang duduk disampingnya. “Kau akan menyesal mengikutiku Jeon.”

“Jungkook.”

“Jeon Jungkook.”

Seperti tertarik kedalam kenyataan, pria berambut berantakan itu melihat Seokjin yang sudah berdiri diluar mobil dengan kepala yang menunduk. “Kau jadi makan tidak?.”

“O.” Pria muda itu mengangguk. Lantas membuka pintu dan turun. Dilihatnya sebuah bangunan besar diseberang jalan, sebuah tempat menimpa ilmu untuknya sembilan tahun lalu. Beberapa anak dengan seragam SMA bertaburan keluar gedung.

Seokjin masih betah melihat Jungkook yang kembali memutar ingatan lama. Mungkin sekarang pria dua puluh tujuh tahun itu berharap Nara akan keluar dari sana dan melambaikan tangan padanya. “Jeon Jungkook, kau bilang kau lapar.” Tagih Seokjin yang tak betah berlama-lama melihat sepupunya itu kembali mengenang gadis bernama Nara.

Seolah waktu berputar lambat untuk Jungkook, suara tawa renyah, langkah kaki ringan bahkan aroma tanah basah. Bunyi kecipak air akibat derap kaki, bayangan pepohonan yang terbias genangan air diaspal.

Hatinya kembali nyeri, merindukan merupakan hal paling menyakitkan didunia. Mungkin dia bisa menerima berapa banyaknya suntikan pada tubuhnya, atau ribuan pil yang harus dia telan selama ini. Tapi merindukan gadis itu tak pernah bisa tertahankan. Hingga semua suara yang mampir ditelinganya membuat kepalanya  kembali berputar.

Tubuhnya tak mampu menahan sakit, menyandarkan tubuh lemahnya pada badan mobil. Segera Seokjin menghampiri Jungkook, dengan raut wajah khawatir ikut memegangi tubuh sepupunya yang hampir terkulai. “Jeon sadarlah, kumohon tidak lagi.” Seokjin mengguncang tubuh lemah Jungkook. Tidak akan lagi membiarkan pria muda itu kembali ketempat mengerikan itu. Tidak lagi membuat Jungkook harus tidur berhari-hari.

Mata pria muda itu memerah, bibir pucatnya bergetar, tangannya terangkat naik memegangi kepalanya. “JEON!!.” Bentak Seokjin, hingga beberapa anak sempat berhenti dan menoleh pada sepasang pria aneh dipinggir jalan.

“Yak Shin Nara! Cepatlah!.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar