Tittle : Another
Cast : Jeon Jungkook BTS
Shin Nara
Kim Taehyung BTS
BTS
Genre : Psikologi, Fanfiction, Alterego
Rate : NC
"Shin Nara tak menyangka hidupnya akan bertambah rumit setelah terlibat dengan seorang ahjussi tampan yang hampir gila, yang selalu menggangap dirinya adalah Shin Nara dari masa lalunya."
Semua kisah membutuhkan akhir. Tak peduli bagaimana
wujudnya, tak peduli kapan datangnya. Akhir akan melengkapi kisah itu. Menjadi
sebuah penutup bagaimana kisah itu ternamai, kisah bahagia ataupun kisah sedih.
“Aku tidak
akan pulang.” Seorang pria bermonolog memandang seorang siswi SMA yang sesekali
mengusap matanya diseberang jalan. “Biar saja ayah hidup dengan jalang itu!.”
Lanjutnya.
“Berhenti
melakukan itu!.” Pria yang lain jengah melihat sepupunya selalu melakukan hal
bodoh setiap melihat orang-orang dengan tingkah aneh. “Jangan katakan kau
melakukannya lagi di kencan butamu!.” Selidik Pria muda dengan setelan jas biru
laut. Yang diajak bicara mengalihkan pandang.
“Ah.
Berhubung kau membicarakan kencan buta, aku jadi ingat.”
Pria berjas
biru menaruh perhatian lebih mendalam, berharap pria berpenampilan seperti
gelandangan tampan itu menyinggung tentang gadis yang dia kenalkan beberapa
minggu lalu. Setidaknya memintanya untuk kembali mempertemukan mereka.
“Aku lupa
mengatakan padamu kalau aku ingin lebih fokus pada pekerjaanku. Aku tak
berencana menikah, aku akan menikahi pekerjaanku. Jadi berhenti mengatur
perjodohan untukku. Kau bahkan bukan ayahku.” Hampir saja melongo mendapati
seorang hampir gila mengatakan tentang pekerjaan. Hal yang dilakukannya setiap
saat hanya mengamati orang dan mencoret-coret bukunya.
Belum lagi
sifat pemilihnya, Gadis itu tak menarik, kurang cantik, aku tak suka gadis
kaya raya. Mungkin saja setelah ini dia juga akan mengatakan aku tidak
menyukai gadis, lebih baik hyung saja yang menikah denganku. Bukan berarti dia
tak pantas memilih. Percayalah jika kau tilik lebih dekat lagi pria seperti
gelandangan ini lebih pantas menjadi model di layar televisi atau paling tidak
majalah lokalpun tak akan menolak memasang potretnya sebagai sampul.
“Jeon.”
Nadanya melemah. Ini adalah permintaan nenek mereka sebelum meninggal. Membuat
Jeon Jungkook kembali normal. Bukan berarti pria dengan rambut sedikit panjang
beratakan itu gila. Hanya saja nyaris gila, diambang batasnya. “Ayahmu saja
menyerah mengurusimu, harusnya kau lebih mendengarkanku. Karena jika kau
melakukan hal bodoh lagi, aku juga akan meninggalkanmu.” Sudah hilang
kesabarannya. Tak peduli banyak mata memandang mereka seperti sepasang kekasih
yang sedang bertengkar.
“Seokjin Hyung.”
“Apa kau
nyaman hidup seperti orang gila?. Hanya karena seorang gadis kau membuang
hidupmu dengan sia-sia. Aku tahu sejak awal Nara akan memberi pengaruh buruk
untukmu.”
Nafasnya
naik turun, meluapkan keresahannya membuat energinya terkuras. Hingga dia sadar
bahwa ada sebuah nama yang harusnya tidak dia katakan. Tapi semuanya sudah
terjadi. Sekarang dia akan memerlukan banyak waktu untuk selalu mengawasi
sepupu hampir gilanya.
Yang
dilakukan Jeon Jungkook hanya, berpikir. Barangkali dikepalanya kini kepingan
kenangan bersama Nara kembali terangkai meski samar. Hingga pria muda itu menunduk
dalam lantas menarik surai hitam legamnya.
“Jeon!.
Tidak lagi.” Seokjin menarik tangan Jungkook, menahannya agar tidak lagi
meyakitki diri. Seluruh pengunjung cafe terlihat histeris. Beberapa menjauh
dari kedua pria itu. “Kumohon. Jeon!.” Teriak Seokjin.
Pria berjas
biru itu mengambil ponselnya, menghubungi sekretarisnya untuk segera datang. Dan
Jeon Jungkook benar-benar memanfaatkan waktu selagi sepupunya lengah. Dengan
sekuat tenaga pria tinggi itu membalik meja dihadapannya hingga terjungkal.
Membuat cafe itu berkali lipat lebih mencekam.
Para
pengunjung bermunduran, tidak mau mendekat juga tidak mau pergi. Beberapa staf
berusaha mendekat, meski ketakutan. Hingga Seokjin mengangkat tangan
mengisyaratkan tidak boleh ada yang mendekat. “Jeon. Ayo pulang, kau pasti
kelelahan!.”
Namun
seolah ada penghalang diseluruh indera Jungkook, pria yang hampir gila itu
melangkah dengan berat. Matanya memerah, bibirnya bergetar. Kepalanya masih
saja berdenyut kurang ajar. Kepala pria itu memutar, raut ketakutan
orang-orang. Meja terbalik, pecahan vas dan mug. Bunga imitasi tergeletak
dilantai, bahkan bekas kopi yang berceceran.
Seokjin
melihat langkah rapuh Jungkook. “Sial!.” Umpatnya, tatkala si pria hampir gila
itu hendak memungut pecahan mug
dilantai. Dengan gerakan cepat Seokjin menarik tubuh lemah Jungkook. Memeluknya
kuat hingga pria muda itu kehabisan tenaga untuk sekedar memberontak. “Kumohon
sadarlah!. Kembalilah!.” Seokjin selalu merasa hatinya tergores setiap kali
melihat Jungkook seperti ini.
“Presedir.”
Dua orang datang, salah satunya mengangguk memberikan isyarat. Mendekat
perlahan, dengan cepat menempelkan kain dengan obat bius di hidung Jungkook.
Hingga sebuah pemberontakan kecil tercipta dari tubuh yang sudah lemah itu.
Seokjin
merasakan tubuh Jungkook semakin berat dalam pelukannya. Dengan bantuan
sekretaris dan dokter pribadi, Jungkook dibopong masuk kedalam mobilnya. “Ah.”
Hampir lupa, pria bermarga Kim itu berputar arah. Mendekat pada salah satu
pelayan cafe. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada pemilik cafe ini. Besok
sekretarisku akan kembali lagi kesini untuk mengurus semuanya.”
***
“Jeon
Jungkook sialan!. Kenapa kau mengikutiku!.”
“Memangnya
hanya kau saja yang bisa membolos!.”
“Berhenti
membuat hidupku lebih berantakan!. Kau yang bolos dan aku yang akan kena marah
Kim Seokjin sialan!.”
Jungkook
merasakan nyeri dikepalanya luar biasa. Membuat matanya dengan perlahan
terbuka, terlalu menyakitkan hanya sekedar melihat cahaya.
“Sial!.”
Umpatnya dengan suara serak. Tangannya terangkat memegangi kepala, hingga
dirasakannya nyeri dan dia tahu selang infus menempel disana. Bahkan bau obat
menguar dimana-mana.
Diruangan
berbeda, Seokjin melihat dari sebuah layar. Semuanya terasa percuma kini. Seluruh
waktu yang dia habiskan untuk membuat Jungkook sembuh hilang begitu saja hanya
dengan sebuah nama. Pria berambut coklat itu menarik nafas panjang, memijit
keningnya. “Sekretaris Jang.”
“Ya
presedir.” Pria yang selalu berpakaian formal itu mendekat.
“Hubungi
Kim Namjoon. Katakan padanya aku minta bantuan. Atur pertemuan kami.”
Sang
sekretaris menunduk sebelum akhirnya meninggalkan Kim Seokjin yang masih
melihat sepupunya berbaring dikamar terkunci itu. Butuh waktu dua hari
menenangkan nyonya Jeon, mengatakan bahwa Jeon Jungkook akan baik-baik saja. Dan
mungkin butuh waktu lebih lama untuk kembali mendapatkan kepercayaan ibu Jeon
Jungkook itu.
Kim Seokjin
melihat tingkah Jungkook yang selalu sama, pria muda itu dengan cekatan melepas
selang infusnya. Lantas menunjukkan jari tengah tepat dikamera.
Seokjin memutar
tubuhnya keluar dari ruangan sempit itu. Melewati lorong panjang dengan banyak
pintu berventilasi kecil. Hingga sampai di ruangan 404. Berdiri dengan tubuh
tegak. Pria itu membuka ventilasi kecil itu. Melihat Jeon Jungkook yang sudah
turun dari ranjangnya.
“Hyung. Aku
lapar.” Rengek Jungkook. Pria itu berjalan tertatih hingga sampai dipintu
dimana sepupunya berdiri diluar. “Berapa hari aku tidur?.”
“Hampir
seminggu. Tunggu sebentar lagi perawat akan membawakan makanan untukmu.”
“Hyung.”
Kembali merengek. Bagaimana bisa dia makan ditempat seperti ini. “Aku ingin
makan diluar.”
“Jangan
berulah Jeon!. Butuh waktu beberapa hari agar kau bisa keluar dari sini. Aku
akan sering berkunjung.” Seokjin menutup tutup ventilasi itu.
Jungkook
mengumpat berkali-kali, bahkan menendang pintu besi sampai akhirnya sia-sia
saja. Tubuhnya masih lemah, kepalanya juga masih berkedut. Tak beberapa lama seseorang
membuka pintu besi itu.
“Tuan Kim
Seokjin menunggu anda dimobilnya.” Ucap perawat yang hanya berdiri diambang
pintu.
Jeon Jungkook
menarik senyumnya lebar. Sepupu presedirnya tak akan tega meninggalkannya
kelaparan. Dengan langkah yang lemah, pria yang masih mengenakan baju pasien
itu berjalan. Menyusuri lorong yang tak lagi asing untuknya. Ini bukan kali
pertamanya ditempat ini. Mungkin empat atau lima kali dia selalu bangun ditempat
yang sama.
Didalam
mobil, Seokjin melihat Jungkook keluar dari gedung rumah sakit. Tubuhnya lebih
kurus, kulitnya putih pucat, rambutnya bahkan hampir sebahu. Masih jelas
teringat bagaimana menawannya seorang Jungkook waktu itu. Bahkan banyak teman
kuliahnya ingin sekali berkenalan dengan anak itu.
“Hyung aku
mau makan ramen.” Ucap Jungkook setelah membuka pintu mobil. “Ramen yang ada
didepan sekolahku.”
Sekali lagi
Seokjin menghela nafas panjang. Harus berapa kali semuanya terulang. Jungkook
hanya akan mengenang bagaimana rupa Nara dalam ingatannya.
“Kita
pulang dulu, aku tak mau semua orang berpikir kalau aku membawa kabur pasien
rumah sakit untuk makan ramen.”
Jungkook
bersandar lemah pada jok mobil. Menghela nafas berat. “Baiklah, mungkin belum
sampai rumah aku sudah akan masuk rumah sakit lagi karena pingsa. Kau belum
pernah merasakan tidak makan selama seminggu.”
Sabar Kim
Seokjin, sejak kapan Jungkook mau menuruti perkataanmu. Bahkan saat pria muda
itu masih waras dia tidak pernah memperdulikan ucapanmu. “Ambil jaket
dibagasi!.” Perintah Seokjin akhirnya. Menekan tombol bagasi dan melihat
Jungkook turun dari mobil.
Seokjin
mengalihkan pandangannya dari Jungkook kala ponselnya berbunyi. Panggilan dari
Kim Namjoon. Mengangkat panggilan itu, Seojin kembali melihat jendela
belakangnya. Jungkook masih disana.
“Oh
Namjoon.”
“Lama tak
bertemu Jin. Sekretarismu bilang kau memerlukan bantuanku?. Apakah mengenai
Jungkook?.”
“O. Sesuatu
terjadi. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Jadi kapan kita bisa
bertemu?.” Suara debum bagasi tertutup terdengar. Jungkook berjalan pelan
dengan membawa buku sketsanya yang hampir saja dibuang Soekjin.
“Mungkin
empat atau lima hari. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku disini.”
“O. Baiklah.”
Seokjin menutup panggilannya saat Jungkook kembali masuk dengan mengenakan
jaket tebal abu-abunya. “Sepertinya kau menemukannya.” Seokjin melihat buku
yang tidak lagi putih ditangan Jungkook.
Pria muda
berambut sedikit panjang itu menarik garis bibirnya. Melihat salah satu buku
tua yang pernah menemani harinya.
Seokjin
mulai menyalakan mobilnya, menembus kota Seoul yang tak pernah sepi. Sesekali
melirik Jungkook yang mulai membuka sketsa gambarannya. Untung saja Seokjin
sempat merobek sketsa wajah Nara disana.
Tanpa
satupun kata keluar dari mulutnya, Jungkook terus membalik satu persatu lembar.
Matanya menemukan sketsa lawas dengan goresan pensil. Daun kering yang jatuh
karena angin, canola kering terselip dalam buku, dan masih banyak lagi gambar
yang menghantarkan kenangan padanya.
Tangan
Jungkook berhenti membalik, kala dia menyadari satu lembar lepas dari sana. Tak
memerlukan waktu lama mengingat gambar apa yang hilang. Masih sangat lekat
dimemorinya sepasang mata hitam dengan bulu mata yang lentik, sebuah lengkung
senyuman yang jarang terlihat, rambut hitam panjang bergelombang yang menari
bersama angin.
“Ayo ke
restoran jepang dekat sini, aku pernah kesana dan sushinya lumayan enak.”
“Kau
idiot!” Gadis itu tetap berjalan tanpa menengok kemanapun, langkahnya sedikit
memburu dengan kaki kecilnya. “Mana ada membolos pergi ke restoran?.”
“Lalu
kau mau kemana?. Cafe comik?. Tempat main game?.” Sang pria muda masih betah
mengekor dibelakangnya. Tak ada lagi jawaban, hanya derap langkah yang semakin
cepat hingga berubah menjadi langkah yang berlari. “Nara! Sebenarnya kau mau
kemana?.”
Sesekali gadis itu mengumpat
saat dilihatnya layar ponselnya. Menepi dipinggir jalan ketika sebuah taxi
hampir saja melewati mereka. “Tolong antarkan ke bandara.”
Gadis mungil itu begitu saja
masuk kedalam taxi diikuti Jungkook yang duduk disampingnya. “Kau akan menyesal
mengikutiku Jeon.”
“Jungkook.”
“Jeon Jungkook.”
Seperti tertarik kedalam
kenyataan, pria berambut berantakan itu melihat Seokjin yang sudah berdiri
diluar mobil dengan kepala yang menunduk. “Kau jadi makan tidak?.”
“O.” Pria muda itu mengangguk. Lantas
membuka pintu dan turun. Dilihatnya sebuah bangunan besar diseberang jalan,
sebuah tempat menimpa ilmu untuknya sembilan tahun lalu. Beberapa anak dengan
seragam SMA bertaburan keluar gedung.
Seokjin masih betah melihat
Jungkook yang kembali memutar ingatan lama. Mungkin sekarang pria dua puluh
tujuh tahun itu berharap Nara akan keluar dari sana dan melambaikan tangan
padanya. “Jeon Jungkook, kau bilang kau lapar.” Tagih Seokjin yang tak betah
berlama-lama melihat sepupunya itu kembali mengenang gadis bernama Nara.
Seolah waktu berputar lambat
untuk Jungkook, suara tawa renyah, langkah kaki ringan bahkan aroma tanah
basah. Bunyi kecipak air akibat derap kaki, bayangan pepohonan yang terbias
genangan air diaspal.
Hatinya kembali nyeri, merindukan
merupakan hal paling menyakitkan didunia. Mungkin dia bisa menerima berapa
banyaknya suntikan pada tubuhnya, atau ribuan pil yang harus dia telan selama
ini. Tapi merindukan gadis itu tak pernah bisa tertahankan. Hingga semua suara
yang mampir ditelinganya membuat kepalanya
kembali berputar.
Tubuhnya tak mampu menahan sakit,
menyandarkan tubuh lemahnya pada badan mobil. Segera Seokjin menghampiri
Jungkook, dengan raut wajah khawatir ikut memegangi tubuh sepupunya yang hampir
terkulai. “Jeon sadarlah, kumohon tidak lagi.” Seokjin mengguncang tubuh lemah
Jungkook. Tidak akan lagi membiarkan pria muda itu kembali ketempat mengerikan
itu. Tidak lagi membuat Jungkook harus tidur berhari-hari.
Mata pria muda itu memerah, bibir
pucatnya bergetar, tangannya terangkat naik memegangi kepalanya. “JEON!!.”
Bentak Seokjin, hingga beberapa anak sempat berhenti dan menoleh pada sepasang
pria aneh dipinggir jalan.
“Yak Shin Nara! Cepatlah!.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar