Follow Us @soratemplates

Senin, 09 September 2019

Another Part II

September 09, 2019 0 Comments


Langit abu-abu hampir tak tersisa dilangit, namun genangan air dan aroma tanah basah masih saja tertinggal.

“Hari ini kami akan mentraktir kalian makan di restoran seberang jalan.” Teriak seorang siswi yang berdiri didepan kelas, kemudian disusul sorakan gembira seisi kelas.

“Daebak! Itulah perbedaan anak orang kaya dan kita.” Seorang gadis berambut pendek sebahu memandang tak percaya. “Meskipun aku tak terlalu suka dengan Lee Hyera, tapi mari manfaatkan kesempatan yang ada.” Senggolnya pada gadis sebelah yang dari tadi hanya diam.

Gadis berambut hitam panjang gelombang itu melihat seorang pria muda yang berdiri di samping Hyera. Seorang pria muda dengan tubuh tinggi dan berkulit pucat. Sesekali mereka tersipu kala dengan kompak seisi kelas menggoda pasangan baru yang luar biasa serasi itu. Keduanya sama-sama berparas menawan, dan tentu saja mereka anak orang kaya.

Pria muda didepan sana mengetahui ada sebuah pandangan yang sangat mengganggunya. Pandangan mata kekecewaan dari seorang gadis yang berstatus sebagai sahabatnya. Jahat memang, dia mendapatkan pengakuan cinta mendadak dari sahabat kecilnya beberapa hari yang lalu. Dan kabar hubungannya dengan Hyera adalah jawaban dari pengakuan cinta itu.

Bukan berarti gadis yang duduk dengan tatapan dingin itu tidak menarik untuknya, bukan sama sekali. Dia pernah menyukainya saat dibangku kelas enam. Hanya sekedar menyukai, hanya perasaan yang terpendam kemudian terlupakan.

Gadis itu memutuskan untuk mengakhiri kontak mata dengannya, memilih untuk membereskan peralatan tulis yang berceceran diatas meja, memasukkannya kedalam tas birunya.

“Kau ikut kan?.” Yoona, gadis berambut pendek itu kembali memastikan. Beberapa hari belakangan sahabatnya memang terlihat menakutkan. Hawa dingin dan aura kegelapan seolah keluar dari pori-porinya. “Kau sedang bertengkar dengan Kim Taehyung?.” Tebaknya tepat sasaran. “Oh, dia datang.”

Indera pembau gadis itu menemukan aroma yang sangat dia kenal, aroma segar citrus yang selalu menguar dari tubuh Kim Taehyung, sahabat kecilnya. “Kau harus ikut.” Yoona melihat hawa mencekam diantara keduanya. Bukan untuk pertama kalinya melihat mereka bertengkar, namun kali ini terlihat berbeda. “Kau akan terlihat seperti seorang gadis yang ditolak dengan tingkahmu seperti ini.”

Sial memang kau Kim Taehyung! Batin gadis itu berteriak. Aktifitasnya seketika berhenti. Kepalanya mendongak jengah, ingin sekali melihat ekspresi congkak sahabatnya. Mungkin sekarang Kim Tahyung merasakan bagaimana menjadi pihak yang pantas menyakiti. Atau berbangga diri karena mampu menolak pengakuan cintanya.

Gadis bermata hitam dalam itu menarik senyumnya. “Memangnya bagaimana aku terlihat?.”

Yoona yang duduk disampingnya akhirnya berdiri, tidak baik melihat pertengkaran antara dua sahabat itu. Kim Taehyung  memutar matanya jengah, tangannya terlipat didepan dada. Seisi kelas melihat mereka berdua seperti sepasang kekasih yang hampir saja berpisah.

“Yak Shin Nara. Kau kira.” Kim Taehyung menarik nafasnya. Tidak baik mengolok seorang gadis yang baru patah hati, terlebih lagi Nara. Seisi kelas tahu bagaimana perubahan sikap Nara beberapa hari ini. Dari Nara yang selalu berisik dan pembuat ulah, tiba-tiba bersikap dingin dan menjadi diam. “Pokoknya kau harus ikut. Mungkin ini terakhir kalinya aku mau mengeluarkan uang untukmu.” Kata Taehyung lemah. Dia melihat sepasang mata itu sedikit terkejut, hingga hampir berkaca-kaca. Sampai akhirnya pandangan mata gadis itu teralih. Menyibukkan diri untuk kembali memberesi peralatan sekolahnya.

Gadis itu mencoba menahan tangisnya ditengah rasa menjijikkan untuk sikapnya sendiri. Ditambah lagi seluruh pandangan anak-anak lain untuknya. Mungkin kini memang dia terlihat seperti seorang gadis yang baru saja dicampakkan.

Kembali mendongak untuk melihat wajah Kim Taehyung, namun dengan ekspresi berbeda. Sebuah senyum paksaan yang berhasil dia ciptakan. “Kalau begitu bersiaplah untuk mengurangi uangmu ke cafe game.” Tantang Nara seolah dia akan memanfaatkan kesempatan menguras kantong Taehyung yang mustahil kering.

Ini adalah keputusan paling bodoh yang pernah dia buat. Seharusnya dia bilang saja tidak enak badan, atau kalau tidak jujur saja dengan seluruh kelas bahwa dia memang benar-benar gadis yang baru saja dicampakkan. Karena semua sikapnya terlampau bodoh dan menyakitkan sekarang. Hampir saja air matanya tumpah melihat sepasang kekasih baru didepan sana.

Ingin rasanya berputar arah, namun melihat bagaimana hal itu akan membuatnya terlihat membosankan karena bertingkah menjadi orang yang tersakiti. Langkahnya lemah, berkali-kali menarik nafas panjang. “Kau benar-benar menyukai Tehyung?.” Yoona bertanya hati-hati.

“Kau gila!.” Seketika Nara berteriak. Dadanya naik turun menahan marah. Dan merutuk mulutnya yang asal bicara. Sekarang mengakui kisah menyedihkan sudah tak mungkin lagi. Dia harus melanjutkan aktingnya yang tidak peduli dengan hubungan Taehyung dan Hyera. Semuanya bertambah rumit kini.

“Ya, kenapa kau berteriak padaku?.” Ucap Yoona masih kaget. “Memangnya apa salahnya menyukai Tahyung?. Dia punya seribu alasan untuk dicintai.”

Nara membenarkan perkataan Yoona, semua aspek yang diinginkan semua gadis terdapat dalam diri Taehyung. Seolah Tuhan meluangkan lebih banyak waktu untuk menciptakan seorang Kim Taehyung.

“Tapi kau sudah mengenalnya lama, mungkin kau tahu keburukannya juga.” Lanjut Yoona.

Walaupun terkadang Kim Taehyung menyebalkan dan selalu membuat tingkah aneh, namun semuanya memberi warna pada perasaan Nara. Semuanya sudah paket sempurna.

Gadis berambut panjang bergelombang itu sejenak berhenti, melihat pantulan dirinya dalam genangan air. Bibirnya tertarik, terlihat sekali seorang gadis yang berusaha baik-baik saja setelah dicampakkan. Konyol sekali melihat ekspresi semacam itu hanya karena cinta. Terdengar menjijikkan, namun hatinya benar-benar sakit.

“JEON!!.”

Gadis itu menaikkan pandangannya, melihat diseberang sana sepasang pemuda sedang berpelukan.

“Wah. Kenapa dunia seperti ini?.” Nara menggeleng. Kenapa ada sepasang pria tampan saling meluapkan perasaan seperti itu. Satunya terlihat lemah dengan wajah pucat dan satunya terlihat cemas. “Andai saja satu diantara mereka mau jadi kekasihku, itu akan lebih baik.” Karena mungkin dia akan melupakan perasaan memalukan karena dicampakkan Kim Taehyung.

“Yak Shin Nara! Cepatlah!.”

Gadis itu melihat gerombolannya yang sudah diseberang jalan. Membuatnya menggerutu lantas kembali berjalan. Tak butuh lama agar sampai direstoran ayam yang dijanjikan Hyera. Sebuah restoran ayam lumayan besar yang selalu padat pengunjung, tentu saja anak-anak dari sekolahnya yang sering menghabiskan waktunya untuk sekedar ngobrol bersama.

Yoona mengangkat tangannya, lantas menepuk kursi tepat disampingnya. Dengan perasaan malas gadis itu duduk disana, matanya hati-hati berputar mencari Taehyung diantara padatnya restoran. Dan sedikit terkejut saat Taehyung juga melihatnya.

“Apa?.” Kata gadis itu tanpa suara. Merutuk karena terlihat bodoh didepan Taehyung. Lantas memilih merogoh saku, mengambil ponselnya. Melakukan apa saja agar waktu tak terasa lebih lama.

“Shin Nara!.” Baru saja gadis itu membuka layar, seseorang memanggilnya. Matanya menemukan seorang pria diusia duapuluhan berdiri diambang pintu. Celana rumah sakit, jaket abu-abu, dengan sebuah buku ditangannya. “SHIN NARA.” Ulangnya berteriak. Seluruh isi restoran itu terkejut, kompak melihat Nara yang sama terkejutnya.

Terlebih Kim Taehyung yang memutar otaknya mengingat siapa pria yang berpenampilan lusuh itu. Pria disana masih memutar pandangannya pada seluruh isi restaurant.

“Jungkook!.” Satu pria lagi datang dan berusaha menarik pria berkulit pucat itu untuk keluar. Nara ingat mereka berdua adalah dua pria yang dia lihat tadi. Tapi yang menjadi pertanyaan kenapa pria berpakaian rumah sakit itu mengenalnya?.

Nara tertarik kekenyataan saat Yoona mengguncang lengannya. Gadis itu berdiri dengan ragu, hingga pandangan sayu pria itu menemukannya. Nara hampir saja kehilangan nafas saat pria itu dengan sekuat tenaga menepis tangan pria berjas itu, lantas dengan langkah pasti berjalan kearahnya.

Hingga mata mereka bertemu, dan Nara sadari pria yang terlihat acak-acakan itu memiliki wajah yang rupawan. Garis rahang tegas, mata hitam dalam, kulit putih pucat bahkan bibir penuhnya yang tak berwarna. Hampir seperti orang bodoh, Nara tak sanggup menayakan siapakah gerangan pria tampan dihadapannya. Hal yang bisa dilakukan hanyalah mengingat apakah diotaknya terselip pria tampan berantakan itu.

Namun dalam hitungan detik, sistem kerja otak gadis itu benar-benar mengalami malfungsi. Ketika sebuah tenaga menarik tubuhnya hingga jatuh dalam tubuh besar pria tampan yang belum dia temukan dalam otaknya. Tangan pria itu merengkuhnya erat seolah jika sedikit longgar gadis itu bisa saja menghilang.

Keterkejutan nampaknya bukan hanya milik Shin Nara, seluruh yang menyaksikan ikut dibuat melongo melihat drama dadakan itu. Bahkan si pria utama dalam acara itu dengan spontan berdiri. Membuat Hyera kekasihnya memandangnya tak percaya. Bertanya bagaimana sebenarnya hubungan Kim Taehyung dan Shin Nara.

Nara benar-benar bisa gila saat ini juga. Bahkan untuk meminta tolong saja mulutnya tak terbuka. Tubuh pria itu menguarkan bau obat-obatan yang menyengat,  membuat isi perutnya teraduk hampir muntah.

Dengan kesadaran yang hampir saja menghilang, tangan Nara berusaha mendorong pria itu, hingga pelukannya melemah. “Akhirnya aku menemukanmu.” Seketika gadis muda itu menaikkan pandang, dengan kening yang berkerut kebingungan.

Belum cukup otaknya saja yang diserang, kini jantung gantung gadis itu ikut-ikutan kena serangan tatkala bibir pucat pria itu begitu saja menempel tepat dibibirnya. Menghantaran sengatan listrik yang siap membuat Nara mendadak mati ditempat.  

“Oh Shit!.”

“Daebak!.”

Restaurant tiba-tiba menjadi sebuah tontonan drama live. Lebih mendebarkan ketimbang ciuman panas settingan dilayar kaca. Dan dari semua jiwa yang menyaksikan, ada satu diantaranya yang siap memenggal kepala pria brengsek itu.

Jumat, 06 September 2019

Another Part I

September 06, 2019 0 Comments



Tittle    : Another 
Cast     : Jeon Jungkook BTS
              Shin Nara 
              Kim Taehyung BTS
              BTS 
Genre  : Psikologi, Fanfiction, Alterego 
Rate     : NC 

"Shin Nara tak menyangka hidupnya akan bertambah rumit setelah terlibat dengan seorang ahjussi tampan yang hampir gila, yang selalu menggangap dirinya adalah Shin Nara dari masa lalunya." 

          Semua kisah membutuhkan akhir. Tak peduli bagaimana wujudnya, tak peduli kapan datangnya. Akhir akan melengkapi kisah itu. Menjadi sebuah penutup bagaimana kisah itu ternamai, kisah bahagia ataupun kisah sedih.

            “Aku tidak akan pulang.” Seorang pria bermonolog memandang seorang siswi SMA yang sesekali mengusap matanya diseberang jalan. “Biar saja ayah hidup dengan jalang itu!.” Lanjutnya.

            “Berhenti melakukan itu!.” Pria yang lain jengah melihat sepupunya selalu melakukan hal bodoh setiap melihat orang-orang dengan tingkah aneh. “Jangan katakan kau melakukannya lagi di kencan butamu!.” Selidik Pria muda dengan setelan jas biru laut. Yang diajak bicara mengalihkan pandang.

            “Ah. Berhubung kau membicarakan kencan buta, aku jadi ingat.”

            Pria berjas biru menaruh perhatian lebih mendalam, berharap pria berpenampilan seperti gelandangan tampan itu menyinggung tentang gadis yang dia kenalkan beberapa minggu lalu. Setidaknya memintanya untuk kembali mempertemukan mereka.

            “Aku lupa mengatakan padamu kalau aku ingin lebih fokus pada pekerjaanku. Aku tak berencana menikah, aku akan menikahi pekerjaanku. Jadi berhenti mengatur perjodohan untukku. Kau bahkan bukan ayahku.” Hampir saja melongo mendapati seorang hampir gila mengatakan tentang pekerjaan. Hal yang dilakukannya setiap saat hanya mengamati orang dan mencoret-coret bukunya.

            Belum lagi sifat pemilihnya, Gadis itu tak menarik, kurang cantik, aku tak suka gadis kaya raya. Mungkin saja setelah ini dia juga akan mengatakan aku tidak menyukai gadis, lebih baik hyung saja yang menikah denganku. Bukan berarti dia tak pantas memilih. Percayalah jika kau tilik lebih dekat lagi pria seperti gelandangan ini lebih pantas menjadi model di layar televisi atau paling tidak majalah lokalpun tak akan menolak memasang potretnya sebagai sampul.

            “Jeon.” Nadanya melemah. Ini adalah permintaan nenek mereka sebelum meninggal. Membuat Jeon Jungkook kembali normal. Bukan berarti pria dengan rambut sedikit panjang beratakan itu gila. Hanya saja nyaris gila, diambang batasnya. “Ayahmu saja menyerah mengurusimu, harusnya kau lebih mendengarkanku. Karena jika kau melakukan hal bodoh lagi, aku juga akan meninggalkanmu.” Sudah hilang kesabarannya. Tak peduli banyak mata memandang mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

             “Seokjin Hyung.”

            “Apa kau nyaman hidup seperti orang gila?. Hanya karena seorang gadis kau membuang hidupmu dengan sia-sia. Aku tahu sejak awal Nara akan memberi pengaruh buruk untukmu.”

            Nafasnya naik turun, meluapkan keresahannya membuat energinya terkuras. Hingga dia sadar bahwa ada sebuah nama yang harusnya tidak dia katakan. Tapi semuanya sudah terjadi. Sekarang dia akan memerlukan banyak waktu untuk selalu mengawasi sepupu hampir gilanya.

            Yang dilakukan Jeon Jungkook hanya, berpikir. Barangkali dikepalanya kini kepingan kenangan bersama Nara kembali terangkai meski samar. Hingga pria muda itu menunduk dalam lantas menarik surai hitam legamnya.

            “Jeon!. Tidak lagi.” Seokjin menarik tangan Jungkook, menahannya agar tidak lagi meyakitki diri. Seluruh pengunjung cafe terlihat histeris. Beberapa menjauh dari kedua pria itu. “Kumohon. Jeon!.” Teriak Seokjin.

            Pria berjas biru itu mengambil ponselnya, menghubungi sekretarisnya untuk segera datang. Dan Jeon Jungkook benar-benar memanfaatkan waktu selagi sepupunya lengah. Dengan sekuat tenaga pria tinggi itu membalik meja dihadapannya hingga terjungkal. Membuat cafe itu berkali lipat lebih mencekam.

            Para pengunjung bermunduran, tidak mau mendekat juga tidak mau pergi. Beberapa staf berusaha mendekat, meski ketakutan. Hingga Seokjin mengangkat tangan mengisyaratkan tidak boleh ada yang mendekat. “Jeon. Ayo pulang, kau pasti kelelahan!.”

            Namun seolah ada penghalang diseluruh indera Jungkook, pria yang hampir gila itu melangkah dengan berat. Matanya memerah, bibirnya bergetar. Kepalanya masih saja berdenyut kurang ajar. Kepala pria itu memutar, raut ketakutan orang-orang. Meja terbalik, pecahan vas dan mug. Bunga imitasi tergeletak dilantai, bahkan bekas kopi yang berceceran.

            Seokjin melihat langkah rapuh Jungkook. “Sial!.” Umpatnya, tatkala si pria hampir gila itu hendak  memungut pecahan mug dilantai. Dengan gerakan cepat Seokjin menarik tubuh lemah Jungkook. Memeluknya kuat hingga pria muda itu kehabisan tenaga untuk sekedar memberontak. “Kumohon sadarlah!. Kembalilah!.” Seokjin selalu merasa hatinya tergores setiap kali melihat Jungkook seperti ini.

            “Presedir.” Dua orang datang, salah satunya mengangguk memberikan isyarat. Mendekat perlahan, dengan cepat menempelkan kain dengan obat bius di hidung Jungkook. Hingga sebuah pemberontakan kecil tercipta dari tubuh yang sudah lemah itu.

            Seokjin merasakan tubuh Jungkook semakin berat dalam pelukannya. Dengan bantuan sekretaris dan dokter pribadi, Jungkook dibopong masuk kedalam mobilnya. “Ah.” Hampir lupa, pria bermarga Kim itu berputar arah. Mendekat pada salah satu pelayan cafe. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada pemilik cafe ini. Besok sekretarisku akan kembali lagi kesini untuk mengurus semuanya.”

***

            “Jeon Jungkook sialan!. Kenapa kau mengikutiku!.”

            “Memangnya hanya kau saja yang bisa membolos!.”

            “Berhenti membuat hidupku lebih berantakan!. Kau yang bolos dan aku yang akan kena marah Kim Seokjin sialan!.”

            Jungkook merasakan nyeri dikepalanya luar biasa. Membuat matanya dengan perlahan terbuka, terlalu menyakitkan hanya sekedar melihat cahaya.

            “Sial!.” Umpatnya dengan suara serak. Tangannya terangkat memegangi kepala, hingga dirasakannya nyeri dan dia tahu selang infus menempel disana. Bahkan bau obat menguar dimana-mana.

            Diruangan berbeda, Seokjin melihat dari sebuah layar. Semuanya terasa percuma kini. Seluruh waktu yang dia habiskan untuk membuat Jungkook sembuh hilang begitu saja hanya dengan sebuah nama. Pria berambut coklat itu menarik nafas panjang, memijit keningnya. “Sekretaris Jang.”

            “Ya presedir.” Pria yang selalu berpakaian formal itu mendekat.

            “Hubungi Kim Namjoon. Katakan padanya aku minta bantuan. Atur pertemuan kami.”

            Sang sekretaris menunduk sebelum akhirnya meninggalkan Kim Seokjin yang masih melihat sepupunya berbaring dikamar terkunci itu. Butuh waktu dua hari menenangkan nyonya Jeon, mengatakan bahwa Jeon Jungkook akan baik-baik saja. Dan mungkin butuh waktu lebih lama untuk kembali mendapatkan kepercayaan ibu Jeon Jungkook itu.

            Kim Seokjin melihat tingkah Jungkook yang selalu sama, pria muda itu dengan cekatan melepas selang infusnya. Lantas menunjukkan jari tengah tepat dikamera.

            Seokjin memutar tubuhnya keluar dari ruangan sempit itu. Melewati lorong panjang dengan banyak pintu berventilasi kecil. Hingga sampai di ruangan 404. Berdiri dengan tubuh tegak. Pria itu membuka ventilasi kecil itu. Melihat Jeon Jungkook yang sudah turun dari ranjangnya.

            “Hyung. Aku lapar.” Rengek Jungkook. Pria itu berjalan tertatih hingga sampai dipintu dimana sepupunya berdiri diluar. “Berapa hari aku tidur?.”

            “Hampir seminggu. Tunggu sebentar lagi perawat akan membawakan makanan untukmu.”

            “Hyung.” Kembali merengek. Bagaimana bisa dia makan ditempat seperti ini. “Aku ingin makan diluar.”

          “Jangan berulah Jeon!. Butuh waktu beberapa hari agar kau bisa keluar dari sini. Aku akan sering berkunjung.” Seokjin menutup tutup ventilasi itu.

            Jungkook mengumpat berkali-kali, bahkan menendang pintu besi sampai akhirnya sia-sia saja. Tubuhnya masih lemah, kepalanya juga masih berkedut. Tak beberapa lama seseorang membuka pintu besi itu.

            “Tuan Kim Seokjin menunggu anda dimobilnya.” Ucap perawat yang hanya berdiri diambang pintu.

            Jeon Jungkook menarik senyumnya lebar. Sepupu presedirnya tak akan tega meninggalkannya kelaparan. Dengan langkah yang lemah, pria yang masih mengenakan baju pasien itu berjalan. Menyusuri lorong yang tak lagi asing untuknya. Ini bukan kali pertamanya ditempat ini. Mungkin empat atau lima kali dia selalu bangun ditempat yang sama.

            Didalam mobil, Seokjin melihat Jungkook keluar dari gedung rumah sakit. Tubuhnya lebih kurus, kulitnya putih pucat, rambutnya bahkan hampir sebahu. Masih jelas teringat bagaimana menawannya seorang Jungkook waktu itu. Bahkan banyak teman kuliahnya ingin sekali berkenalan dengan anak itu.

            “Hyung aku mau makan ramen.” Ucap Jungkook setelah membuka pintu mobil. “Ramen yang ada didepan sekolahku.”

            Sekali lagi Seokjin menghela nafas panjang. Harus berapa kali semuanya terulang. Jungkook hanya akan mengenang bagaimana rupa Nara dalam ingatannya.

            “Kita pulang dulu, aku tak mau semua orang berpikir kalau aku membawa kabur pasien rumah sakit untuk makan ramen.”

            Jungkook bersandar lemah pada jok mobil. Menghela nafas berat. “Baiklah, mungkin belum sampai rumah aku sudah akan masuk rumah sakit lagi karena pingsa. Kau belum pernah merasakan tidak makan selama seminggu.”

            Sabar Kim Seokjin, sejak kapan Jungkook mau menuruti perkataanmu. Bahkan saat pria muda itu masih waras dia tidak pernah memperdulikan ucapanmu. “Ambil jaket dibagasi!.” Perintah Seokjin akhirnya. Menekan tombol bagasi dan melihat Jungkook turun dari mobil.

            Seokjin mengalihkan pandangannya dari Jungkook kala ponselnya berbunyi. Panggilan dari Kim Namjoon. Mengangkat panggilan itu, Seojin kembali melihat jendela belakangnya. Jungkook masih disana.

            “Oh Namjoon.”

            “Lama tak bertemu Jin. Sekretarismu bilang kau memerlukan bantuanku?. Apakah mengenai Jungkook?.”

            “O. Sesuatu terjadi. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Jadi kapan kita bisa bertemu?.” Suara debum bagasi tertutup terdengar. Jungkook berjalan pelan dengan membawa buku sketsanya yang hampir saja dibuang Soekjin.

            “Mungkin empat atau lima hari. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku disini.”

            “O. Baiklah.” Seokjin menutup panggilannya saat Jungkook kembali masuk dengan mengenakan jaket tebal abu-abunya. “Sepertinya kau menemukannya.” Seokjin melihat buku yang tidak lagi putih ditangan Jungkook.

            Pria muda berambut sedikit panjang itu menarik garis bibirnya. Melihat salah satu buku tua yang pernah menemani harinya.

            Seokjin mulai menyalakan mobilnya, menembus kota Seoul yang tak pernah sepi. Sesekali melirik Jungkook yang mulai membuka sketsa gambarannya. Untung saja Seokjin sempat merobek sketsa wajah Nara disana.

            Tanpa satupun kata keluar dari mulutnya, Jungkook terus membalik satu persatu lembar. Matanya menemukan sketsa lawas dengan goresan pensil. Daun kering yang jatuh karena angin, canola kering terselip dalam buku, dan masih banyak lagi gambar yang menghantarkan kenangan padanya.

            Tangan Jungkook berhenti membalik, kala dia menyadari satu lembar lepas dari sana. Tak memerlukan waktu lama mengingat gambar apa yang hilang. Masih sangat lekat dimemorinya sepasang mata hitam dengan bulu mata yang lentik, sebuah lengkung senyuman yang jarang terlihat, rambut hitam panjang bergelombang yang menari bersama angin.

            “Ayo ke restoran jepang dekat sini, aku pernah kesana dan sushinya lumayan enak.”

            “Kau idiot!” Gadis itu tetap berjalan tanpa menengok kemanapun, langkahnya sedikit memburu dengan kaki kecilnya. “Mana ada membolos pergi ke restoran?.”

            “Lalu kau mau kemana?. Cafe comik?. Tempat main game?.” Sang pria muda masih betah mengekor dibelakangnya. Tak ada lagi jawaban, hanya derap langkah yang semakin cepat hingga berubah menjadi langkah yang berlari. “Nara! Sebenarnya kau mau kemana?.”

Sesekali gadis itu mengumpat saat dilihatnya layar ponselnya. Menepi dipinggir jalan ketika sebuah taxi hampir saja melewati mereka. “Tolong antarkan ke bandara.”

Gadis mungil itu begitu saja masuk kedalam taxi diikuti Jungkook yang duduk disampingnya. “Kau akan menyesal mengikutiku Jeon.”

“Jungkook.”

“Jeon Jungkook.”

Seperti tertarik kedalam kenyataan, pria berambut berantakan itu melihat Seokjin yang sudah berdiri diluar mobil dengan kepala yang menunduk. “Kau jadi makan tidak?.”

“O.” Pria muda itu mengangguk. Lantas membuka pintu dan turun. Dilihatnya sebuah bangunan besar diseberang jalan, sebuah tempat menimpa ilmu untuknya sembilan tahun lalu. Beberapa anak dengan seragam SMA bertaburan keluar gedung.

Seokjin masih betah melihat Jungkook yang kembali memutar ingatan lama. Mungkin sekarang pria dua puluh tujuh tahun itu berharap Nara akan keluar dari sana dan melambaikan tangan padanya. “Jeon Jungkook, kau bilang kau lapar.” Tagih Seokjin yang tak betah berlama-lama melihat sepupunya itu kembali mengenang gadis bernama Nara.

Seolah waktu berputar lambat untuk Jungkook, suara tawa renyah, langkah kaki ringan bahkan aroma tanah basah. Bunyi kecipak air akibat derap kaki, bayangan pepohonan yang terbias genangan air diaspal.

Hatinya kembali nyeri, merindukan merupakan hal paling menyakitkan didunia. Mungkin dia bisa menerima berapa banyaknya suntikan pada tubuhnya, atau ribuan pil yang harus dia telan selama ini. Tapi merindukan gadis itu tak pernah bisa tertahankan. Hingga semua suara yang mampir ditelinganya membuat kepalanya  kembali berputar.

Tubuhnya tak mampu menahan sakit, menyandarkan tubuh lemahnya pada badan mobil. Segera Seokjin menghampiri Jungkook, dengan raut wajah khawatir ikut memegangi tubuh sepupunya yang hampir terkulai. “Jeon sadarlah, kumohon tidak lagi.” Seokjin mengguncang tubuh lemah Jungkook. Tidak akan lagi membiarkan pria muda itu kembali ketempat mengerikan itu. Tidak lagi membuat Jungkook harus tidur berhari-hari.

Mata pria muda itu memerah, bibir pucatnya bergetar, tangannya terangkat naik memegangi kepalanya. “JEON!!.” Bentak Seokjin, hingga beberapa anak sempat berhenti dan menoleh pada sepasang pria aneh dipinggir jalan.

“Yak Shin Nara! Cepatlah!.”